Review Buku A Man Called Ove by Fredrik Backman – Kakek Grumpy yang Baik Hati #herwayofreview

Malang


Sembari menunggu revisi skripsi datang dari Bapak dosen pembimbing, mari kita membicarakan salah satu buku favorit ku yang menurutku wajib dibaca bagi kalian pecinta buku, yaitu A Man Called Ove.

Meskipun A Man Called Ove sudah terbit sejak tahun 2016, tapi aku baru baca tahun ini, tepatnya di bulan Maret kemarin dan itupun karena rekomendasi salah satu bookstagrammer (in case you wanna know, she is @readorables). Ada sedikit penyesalan sih, “Kenapa ya, aku baru tahu buku sebagus ini setelah 5 tahun diterbitkan?”

Tapi, nggak apa-apa kan terlambat, daripada nggak sama sekali (mulai cari pembenaran nich).

Sebelum membahas lebih dalam mengenai buku ini, alangkah baiknya jika kalian membaca sinopsis nya terlebih dahulu agar memiliki sedikit gambaran mengenai cerita dalam buku ini.

Source: pinterest

Sinopsis

Sebelum terlibat lebih jauh dengannya, biar kuberi tahu. Lelaki bernama Ove ini mungkin bukan tipemu.
Ove bukan tipe lelaki yang menuliskan puisi atau lagu cinta saat kencan pertama. Dia juga bukan tetangga yang akan menyambutmu di depan pagar sambil tersenyum hangat. Dia lelaki antisosial dan tidak mudah percaya kepada siapa pun.
Seumur hidup, yang dipercayainya hanya Sonja yang cantik, mencintai buku-buku, dan menyukai kejujuran Ove. Orang melihat Ove sebagai lelaki hitam-putih, sedangkan Sonja penuh warna.
Tak pernah ada yang menanyakan kehidupan Ove sebelum bertemu Sonja.  Namun bila ada,  dia akan menjawab bahwa dia tidak hidup.  Sebab, di dunia ini yang bisa dicintainya hanya tiga hal: kebenaran, mobil Saab, dan Sonja.
Lalu … masih inginkah kau mengenal lelaki bernama Ove ini?

Bagaimana? Sudah ada sedikit gambaran?

Buku ini menceritakan tentang kisah sehari-hari Ove—seorang bapak-bapak berusia 59 tahun yang tinggal di perumahan (di Swedia) yang memiliki rutinitas yang rutin dan menaati setiap peraturan yang telah dibuat. Setiap hari, dia pasti bangun di jam yang sama tanpa dibangunkan siapapun. Setelah itu, dia akan berkeliling kompleks untuk memulai inspeksi nya (terror) mulai dari kendaraan yang parkir sembarangan, putung rokok yang dibuang sembarangan, dan  lain-lain. Pokoknya dia lah yang menegakkan ketertiban di kompleks nya. Sampai akhirnya Ove kedatangan tetangga baru, sepasang suami istri Parvaneh (yang sedang hamil) – Patrcik dan kedua anak perempuan mereka.

Pada halaman awal, Ove digambarkan sebagai sosok kakek-kakek yang kolot dan keras kepala. Dia tidak akan segan-segan menegur siapapun yang melanggar peraturan di kompleksnya. Yang paling banyak sih tentang kendaraan yang dilarang masuk sampai ke halaman rumah. Contohnya, ketika Patrick yang sedang pindahan, tidak bisa memarkir mobil dan menabrak kotak pos Ove.

Awalnya Ove menegurnya bahwa mobil tidak boleh dibawa sampai ke depan rumah (karena ada tempat parkirnya sendiri) sampai akhirnya Ove geregetan sendiri dengan Patrick dan menyuruh nya keluar mobil karena Ove yang akan memarkirkannya.

Bayangkan kamu punya tetangga seperti Ove. Ove ini adalah sosok yang pasti tidak disukai semua orang. Kalau belum mengenal sosoknya lebih dekat, pasti kita akan sebal dan cenderung melabeli Ove dengan sebutan kakek galak. Bagaimana tidak? Ove sama sekali tidak ramah kepada siapapun, sering sekali menggerutu, membenci kucing dan orang “berkemeja putih”,  dan juga berpemikiran kuno. Terbukti dengan kecintaannya terhadap mobil Saab. Dia bahkan memusuhi satu-satunya sahabatnya, Rune karena dia membeli mobil yang bukan buatan Swedia.

Menariknya, buku ini membawaku menyelami masa lalu Ove yang kelam sehingga aku mengerti mengapa Ove berperilaku seperti itu. Bagaimana rintangan yang Ove hadapi di masa lalu membentuk pribadinya yang sekarang. Selain itu, aku juga melihat bagaimana karakter Ove berkembang di sepanjang membaca kisahnya. Bagaimana hubungan dia dengan tetangga-tetangga nya, kucing, orang asing dan juga dengan mendiang istrinya, Sonja. Sehingga buku ini ditulis dengan alur maju dan mundur.

Sebenarnya dari awal aku sudah terkejut dengan sosok Ove ini. Ove ini kesepian. Dia setiap hari mencoba untuk bunuh diri karena dia sudah tidak memiliki tujuan apapun untuk dicapai dalam hidup. Nggak nyangka, kan?

Sonja, istri sekaligus orang yang paling dicintainya dan peduli dengannya, telah meninggalkannya beberapa tahun lalu. Ove selalu melihat dunia dengan cara hitam dan putih, sedangkan Sonja melihat dunia dengan berbagai warna. Ketika Sonja— satu-satunya cahaya dalam hidupnya pergi, dunia Ove seakan gelap dan dia tidak tahu harus bagaimana.

Lucunya, usaha Ove untuk bunuh diri (bertemu Sonja katanya) selalu gagal. Ada saja gangguan yang datang ketika dia sedang melakukan aksi nya. Kemudian dia akan mencoba lagi usahanya keesokan harinya sampai akhirnya dia menyerah.

Aku takjub dengan cara penulis, Fredrik Backman, menciptakan karakter Ove sebagaimana sifat manusia yang kompleks (meskipun buku ini fiksi ya). Cara Fredrik menulis benar-benar membuatku bisa ikut merasakan kesedihan Ove. Aku merasa seperti mengenal Ove dengan baik dengan mengikuti kisah Ove dari masa kanak-kanak—hubungannya dengan mendiang ayahnya, Ove remaja hingga dewasa dimana akhirnya dia bertemu Sonja, dan Ove di masa tua nya yang kesepian.

Aku berharap bisa memeluk Ove dan menawarkan kehangatan untuknya, seperti yang Parvaneh dan keluarga kecilnya lakukan. Sehingga pada akhirnya Ove bisa dapat membuka diri sedikit demi sedikit dan memiliki tujuan hidup lagi.

Karena aku tidak ingin memberikan spoiler lebih banyak, aku hanya ingin berkata kalau aku sangat-sangat mencintai kisah ini dan semua karakter yang terlibat yang begitu lovable. Aku juga sangat suka dengan Ove. Buku ini dikemas dengan humor dan kesedihan sekaligus. Buku ini berhasil membuatku menitikkan air mata. Duh, buku ini emang sebagus ituuuu!!!!

This story will warmth your heart for sure 🙂

Jika kalian tertarik untuk membaca bukunya, aku juga menyarankan untuk membaca pembahasan nya lebih lanjut disini, disini, dan disini..

See you :))

Cheers,

Rani.

((Picture Source pinterest))

Leave a comment